Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 26 November 2012

Cerita Bokep | Dipijat Pembantuku


Perkenalkan namaku adalah Chrisye. Aku berasal dari kota Malang (Jawa Timur), dan kedua orang tuaku masih tinggal di sana. Umurku baru 25 tahun, dan saat ini sedang studi Master tahun terakhir di Melbourne (Australia). Sejak lulus SMA aku langsung kuliah S1 di Jakarta, dan sempat bekerja selama setahun di Jakarta setelah lulus S1. Aku mendapat sponsor dari orang tua untuk melanjutkan pendidikan S2 di Australia. Aku memilih kota Melbourne karena banyak teman-temanku yang menetap di sana.
Di pertengahan bulan November 2004 adalah awal dari liburan kuliah atau di Australia sering disebut dengan Summer holiday (liburan musim panas). Summer holiday di Australia biasanya maksimum selama 3 bulan lamanya. Saat itu adalah pertama kali aku pulang ke tanah air dari studi luar negeri. Rindu sekali rasanya dengan makanan tanah air, teman-teman, dan orang tua.
Saat itu aku pulang dengan pesawat Singapore Airlines dengan tujuan akhir Bandara Juanda, Surabaya. Aku tiba di Surabaya sekitar pukul 11 pagi, dan terlihat supir utusan ayah sudah sejak jam 10 pagi menunggu dengan sabar kedatanganku. Ayah dan ibu tidak menjemputku saat itu karena hari kedatanganku tidak jatuh pada hari Sabtu atau Minggu, ditambah lagi dengan macetnya lalu lintas akibat banjir lumpur di kota Porong yang membuat mereka malas untuk ikut menjemputku di bandara.
Wajah supirku sudah tidak asing lagi denganku, karena supir kami ini sudah bekerja dengan ayah sejak aku berumur 5 tahun. Dia sudah aku anggap seperti pamanku sendiri. Aku sangat menghormatinya meskipun pekerjaannya hanya seorang supir.
Aku sempat mencari makan di kota Surabaya. Tempat favoritku tetap di restoran kwee tiau Apeng. Suasana restoran nampak tidak ramai, mungkin masih pagi hari. Di malam hari terutama di malam minggu, restoran ini akan penuh dengan antrean panjang.

Seabis makan, aku meminta supirku untuk langsung jos pulang ke Malang. Badanku terasa letih sekali karena perjalanan yang panjang. Sepanjang perjalanan kami menghabiskan waktu mengobrol santai. Bahasa jawa supirku masih terkesan medok sekali. Dahulu semasa sma, bahasa jawaku juga lumayan medok. Tetapi sejak kuliah di Jakarta, aku jarang memakai bahasa jawaku, sehingga terkesan sedikit luntur. Tapi setiap kata-kata jawa yang terucap oleh supirku masih bisa aku mengerti 100%, hanya saja aku membalasnya dengan separuh jawa separuh bahasa Indo.
Kemacetan lalu lintas akibat banjir lumpur di kota Porong sempat menyita perjalanan pulang kami. Aku tiba di rumahku di kota Malang sekitar jam 4 sore. Sesampai di gerbang rumah, supirku menekan klakson, memberi peringatan orang di dalam rumah untuk membuka pintu gerbang.
Tak kurang dari 2 menit, pintu gerbang terbuka dan aku membuka jendela mobilku memberi sapaan hangat kepada bibiku. Bibiku yang satu ini juga lama ikut dengan ayah dan ibu. Bibiku ini bernama Tutik, dan sudah berumur sekitar 50 tahun lebih. Bibi Tutik jago sekali memasak masakan Indonesia. Makanan bibi yang paling aku rindukan selama aku kuliah di Jakarta dan Melbourne. Aku sudah membuat daftar panjang masakan Bibi Tutik selama 3 bulan liburan musim panas ini.
Setelah bersalaman dan bercanda ria dengan Bibi Tutik, tiba-tiba sosok gadis muda keluar dari pintu rumah memberikan salam kepadaku. Aku sempat tercengang oleh wajah cantik gadis yang masih terasa asing bagiku. Ternyata gadis muda ini adalah pembantu rumah yang baru, karena pembantu sebelumnya telah menikah dan pindah bersama suaminya. Aku menafsir bahwa umur gadis ini sekitar 17 atau baru 18 tahun. Setelah diperkenalkan oleh Bibi Tutik, pembantu baruku ini bernama Sisca.

Sisca berperawakan sedang, sekitar 158 cm. Kulitnya sawo matang. Matanya hitam dan lebar sehingga tambak bersinar-sinar. Rambutnya hitam sebahu. Besar payudaranya bisa aku tafsirkan sekitar 32C. Pinggulnya mantap dan kakinya mulus tanpa ada borok. Wajahnya cantik berhidung mancung, hanya saja bibirnya sedikit tebal. Tapi mungkin itu yang membuatnya unik. Aku sempat tidak mengerti mengapa ibu bisa menemukan pembantu secantik ini. Sisca membantuku membawa koper bagasiku masuk, dan menanyakan diriku apakah ada cucian atau pakaian kotor yang akan dicuci. Sepertinya Sisca telah diberi info oleh ibuku bahwa aku biasanya selalu membawa pakaian kotor sewaktu pulang dari Jakarta. Jadi tidak heran ibu bisa menduga bahwa aku pasti juga membawa baju kotor pulang.
Aku unpack 2 koper dan memisah-misahkan pakaian kotor dengan pakaian bersih, dan juga menata rapi oleh-oleh dari Australia.
Aku sudah menyiapkan semua sovenir-sovenir untuk ayah, ibu, bibi Tutik, supir ayah. Dan tentu saja oleh-oleh yang pertamanya buat pembantu lama yang kini sudah tidak bekerja lagi dengan kita, saya berikan kepada Sisca. Ayah aku belikan topi cowboy dari kulit kangguru. Menurutku cocok untuk ayah, terutama disaat ayah sedang berkunjung di kebun apelnya. Ibu aku belikan kulit domba yang halus untuk hiasan lantai kamarnya. Supir ayah aku belikan korek api berlogokan kangguru dan kaos bergambarkan benua Australia. Sedangkan bibi Tutik dan Sisca, aku belikan 2 parfum lokal untuk setiap orang.
Sisca tampak hepi banget diberi oleh-oleh parfum dariku. Aku memang sengaja memilih parfum dengan botol yang unik, sehingga terlihat sedikit mahal.

Ayah dan ibu pulang dari kantor sekitar jam 6 sore. Malam itu bibi Tutik aku minta untuk memasak petai udang kecap favoritku. Aku melepas rindu dengan ayah dan ibu. Kami berbincang-bincang sampai larut malam. Tak terasa kami telah berbincang-bincang sampai jam 11 malam.
Kemudian aku berpamitan dengan ayah dan ibu. Badanku sangat letih. Aku sudah hampir 36 jam belum tidur. Aku tidak terbiasa tidur di dalam pesawat.
Sewaktu aku hendak menuju ke kamar tidurku, aku sempat berjalan berpas-pasan dengan Sisca. Melihat aku hendak berpas-pasan dengannya, Sisca langsung membungkukkan sedikit badannya sambil berjalan. Mata kami tidak saling memandang satu sama lain. Menurut tradisi kami, tidak sopan pembantu bertatap pandang dengan majikan saat berjalan berpas-pasan.
Malam itu, meskipun badan letih, aku masih belum langsung tidur. Aku sedang melihat-lihat photo-photoku dan teman-teman di Melbourne di handphoneku. Aku sempat kangen sedikit dengan Melbourne. Aku juga sempat berpikir mengenai Sisca, dan penasaran sekali bagaimana ibu bisa menemukan pembantu secantik Sisca. Keesokan harinya aku bangun jam 10 pagi. Aku sudah tidak ingat sudah berapa jam aku tidur. Suasana rumah sedikit hening. Ayah dan ibu sudah pasti balik ke kantor lagi. Aku memanggil-manggil bibi Tutik, dan tidak ada jawaban darinya. Tak lama kemudian Sisca muncul dari kebun belakang.

“Nyo Chrisye wis mangan? (tuan muda Chrisye sudah makan?)” tiba-tiba Sisca bertanya memecahkan suasana hening di rumah. Istilah ‘Nyo’ adalah kependekan dari ‘Sinyo’ (bahasa Belanda rancu) yang sering dipake di Jawa yang artinya tuan muda.
Aku berusaha membalas pertanyaan Sisca dengan bahasa Jawa. Tapi aku sudah tidak terbiasa berbincang-bincang dengan 100% bahasa Jawa.

“Durung, aku sek tas tangi kok. Mana bibi? Aku sudah laper nih! (Belon, aku baru aja bangun tidur. Mana bibi? Aku sudah lapar nih)” jawabku separuh Jawa separuh Indo.
“Bibik melok nyonya. Ora ero budal nang endi. Nyonya mau tetep pesen nang aku lek Nyo Chrisye pengen tuku apo gawe mangan isuk (Bibi ikut nyonya. Tidak tau pigi kemana. Nyonya tadi titip pesan kepada saya kalo tuan Chrisye ingin beli apa untuk makan pagi)” kata Sisca.
Pagi itu aku berharap bibi Tutik memasak untukku. Tapi apa boleh buat, aku akhirnya meminta Sisca untuk beli nasi pecel favoritku di dekat rumah. Hanya sekitar 100 meter dari rumahku. Setelah memberi uang kepadanya, Sisca pun langsung segera berangkat. Sambil menunggu Sisca kembali, aku menyalakan TV sambil menonton acara-acara di MetroTV, RCTI, Trans TV, dan lain-lain. Rindu sekali aku dengan siaran-siaran televisi Indonesia. Aku sudah tidak sabar untuk menonton acara favoritku seperti Extravaganza, Empat Mata, dan banyak pula yang lainnya. Hanya sekitar 20 menit, Sisca telah kembali. Sambil makan nasi pecel aku kembali menonton TV, sedangkan Sisca juga kembali ke kebun belakang kira-kira mencuci atau menjemur pakaian.

Mataku sempat mencuri-curi pandang ke kebun belakang. Terlihat wajahnya berkeringat karena terik matahari. Seperti yang aku duga, Sisca sedang menjemur pakaian. Aku merasa kasihan terhadapnya, karena rata-rata pakaian yang dijemurnya adalah milikku. Kulihat Sisca sedang berjinjit-jinjit sambil menjemur pakaian. Kaos yang dikenakan Sisca sedikit pendek, sehingga aku bisa melihat perut dan pusarnya. Perut Sisca ramping sekali. Payudaranya sedikit menonjol kedepan. Aku sedikit bergairah melihat kelakuan Sisca saat itu.
Aku menjadi tidak berkonsentrasi menonton TV, mataku tetap melirik saja ke arah Sisca.
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara bibi Tutik.

“Chrisye sek tas tangi?! Cek siange tangine. (Chrisye baru bangun. Kok siang banget bangunnya)” suara bibi Tutik membuyarkan semuanya.
“Bibi teko endi? Tak carik-carik mau. (Bibi dari mana? Dari tadi aku cari-cari)” jawabku. “Bibi sek tas melok nyonya nang pasar. Mari ngono barengi nyonya nang omahe koncone nyonya diluk. (Bibi tadi ikut nyonya ke pasar. Setelah itu nemenin nyonya ke rumah temannya sebentar)” jawab bibi.
“Chrisye gelem opo siang iki? Gelem sambel lalapan Tutik? (Chrisye pengen apa siang ini? Pengen sambel lalapan Tutik)” tanya bibi. Maklum memang sambel lalapan bikinan bibi Tutik tiada duanya. Makanya aku menamakannya ‘Sambel Lalapan Tutik’. Aku pernah berpikir untuk membuka depot khusus masakan bibi Tutik. Mungkin suatu hari nanti rencanaku ini bisa terwujud.

“Wuahhh … gelem bibi. Wis kangen aku mbek sambel lalapan tutik. Goreng ikan pindang mbek goreng tempe sisan yo. (Wuahhh … mau bibi. Dah kangen aku ama sambel lalapan tutik. Goreng ikan pindang dan goreng tempe juga yah)” jawabku dengan girangnya.
Hari demi hari, waktuku hanya terbuang menonton TV, makan masakan-masakan bibi Tutik, dan jalan-jalan ama teman-teman lama. Kadang-kadang aku berkunjung ke rumah sodara ayah, sodara ibu, dan sepupu-sepupuku. Lama kelamaan bahasa Jawaku kembali lagi seperti yang dulu.

Sampai pada suatu hari, sekitar pertengahan bulan December 2006 …
Sudah sebulan lamanya, aku hanya bisa memandang sosok Sisca dari kejauhan. Semakin banyak memandang, semakin tumbuh rasa penasaran yang besar pula. Sisca tampak semakin lama semakin cantik di mataku. Dan maaf, kata-kata yang sebenarnya adalah Sisca semakin membuatku bernafsu. Ingin sekali aku memiliki dirinya, jiwa dan raganya. Aku seperti kerasukan saat ini, tiap kali aku melihat Sisca, otakku selalu terbayang-bayang dirinya saat terlanjang.
Pada suatu hari, seingatku itu hari Jumat. Aku bangun kesiangan, lewat jam 11 pagi. Kepalaku pening karena bangun kesiangan. Kulihat sekeliling, bibi Tutik sedang tidak ada di rumah. Aku masa bodoh dengan keadaan sekitar yang sunyi. Aku duduk di sofa empuk di ruang keluarga, tapi kali ini aku tidak menyalakan tv. Kudengar Sisca sedang di halaman belakang seperti biasanya mencuci baju. Kali ini aku memberanikan niatku untuk mendekati, mungkin awalnya harus saling kenal dulu biar akrab. Aku tidak pernah ngobrol santai dengan Sisca selama ini, kebanyakan aku ngobrolnya dengan bibi Tutik. Karena mungkin aku telah dibesarkan juga oleh bibi Tutik, jadi apa saja bisa nyambung bila ngobrol dengan bibi Tutik.

Aku beranjak dari sofa dan menuju halaman belakang untuk mengajak Sisca ngobrol. Namun hanya terhitung beberapa langkah dari pintu belakang, aku terpeset dan terpelanting di belakang. Bunyi ‘gubrakan’ tubuhku lumayan keras, dan pinggangku sakitnya bukan main. Sisca terkejut melihat tubuhku yang terpelanting ke belakang. Aku meringis kesakitan, sambil memegangi pinggangku yang sakitnya bukan main.
“Nyo Chrisye … kok iso moro-moro tibo? … (tuan muda Chrisye … kok bisa tiba-tiba jatuh? …)” tanya Sisca panik.
Aku hanya bisa meringis sambil menunjuk lantai yang masih basah.
“Lahh … nyo Chrisye mosok ora ketok lek tehel’e sek basa ngono … endi seng loro? … (lah … tuan muda Chrisye masa ngga liat kalo lantainya masih basah … mana yang sakit? …)” tanya Sisca sekali lagi. Aku hanya bisanya meringis sambil memegang pinggulku yang masih saja sakit.
“Mlebu sek nyo Chrisye … tak urut’e cekno mendingan … longgo’o ndek sofa sek … Sisca golek obat urut ndek kamar nyonya? … (masuk dulu tuan muda Chrisye … aku urut biar mendingan … duduk saja di sofa … Sisca cari obat urut di kamar nyonya? …)” pinta Sisca.
Aku menurut saja dengan permintaan Sisca. Aku baringkan tubuhku di atas sofa empuk. Tak lama kemudian Sisca kembali sambil membawa minyak tawon. Dia memintaku berbaring dengan posisi telungkup, dan menyuruhku membuka setengah pakaian atasku. Saat ini aku ngga ada pikiran apa-apa, karena aku masih berkonsentrasi membuang rasa sakit di pinggangku.
Sisca terus mengurut-urut pinggangku yang sakit lumayan lama, dan sekali-kali memijatnya. Aku akui pijatan dan urutan Sisca terasa nikmat, sehingga perlahan-lahan rasa sakitnya mulai menghilang. Ternyata pertolongan pertama yang ditawarkan Sisca sangat ampuh.

Kini rasa sakit di pinggangku perlahan-lahan membaik, meskipun masih ada sedikit rasa sakit. Namun rasa nikmat pijatan dan urutan Sisca membuat akal sehatku mati. Aku kemudian timbul rencana lain di dalam otakku.
“Sisca … ora enak iki ndek sofa … nang jero kamarku wae … ndek sofa iki kudu arep melorot wae badanku … (Sisca … kagak enak nih di atas sofa … di dalam kamarku aja … di atas sofa seperti yang mau melorot saja badanku …)” pintaku.
Sisca hanya mengangguk pertanda setuju. Kemudian aku menuju ke kamarku. Sisca memintaku untuk menunggu di kamar dulu, dia mau menyelesaikan jemuran baju dulu, karena tanggung.
Di dalam kamar, otak kotorku sedang merencanakan taktik bagaimana mendapatkan tubuh Sisca. Segala cara dan taktik telat aku pikirkan, dan banyak sekali yang ada di otak ini.
Selang beberapa saat Sisca mengetok pintu kamarku, dan aku menyambutnya dengan gembira.
“Sisca, bibik Tutik nyang endi? Teko omah jam piro jerene? (Sisca, bibi Tutik pergi mana? Jam berapa nanti pulang katanya?)” tanyaku.

“Bibik ono urusan’e, ketokan’e sesok jange teko omah maneh. Koyok’e urusan penting. (Bibi ada urusan, keliatannya besok baru pulang rumah lagi. Kayaknya urusan penting)” jawab Sisca.
Mendengar jawaban Sisca tersebut, aku girangnya bukan main. Berarti hanya aku dan Sisca saja yang ada di rumah saat ini. Papa/Mama pasti sedang di kantor, dan biasanya mereka baru pulang sekitar jam 6 sore, dan ini masih baru jam 12 siang lewat. Aku mencium bau kemenangan.
“Sisca, pinggangku sek rodo loro … tolong uruten maneh yo … urutan-mu uenak tenan … ora kalah mbek pijetan’e sing wis mahir (Sisca, pinggangku masih rada sakit nih … tolong diurut lagi yah … urutan-mu enak banget … kagak kalah ama pijetan professional)” kataku sambil memujinya.

“Nyo Chrisye iki ono-ono wae … iki sing pertama Sisca mijetin wong liyo … ora ono pengalaman’e (tuan muda Chrisye ini ada-ada aja … ini baru pertama kali Sisca pijitin orang lain … masih belon ada pengalaman)” tundas Sisca.
“Walah walah … sing pertama wae wes hebat … pasti Sisca pisan hebat ndek bidang liyo (walah walah … yang pertama kali aja sudah hebat … pasti Sisca ada kehebatan di bidang lain) pujiku sekali lagi.
“Nyo Chrisye iso wae seh … (tuan muda Chrisye bisa aja sih)” jawab Sisca singkat.
“Sisca ojok jeluk aku nganggo jeneng ‘nyo’ … koyok cah cilik wae … jeluk nganggo jeneng mas Chrisye wae … (Sisca jangan panggil aku dengan nama ‘nyo’ … kayak anak kecil aja … panggil mas Chrisye aja)” pintaku. Sisca hanya menganggu tanda setuju.

Suasana kamar sempat hening, hanya terdengar bunyi napas Sisca yang sedang asyik mengurut pinggangku. Tiba-tiba Sisca bertanya “Wes mendingan saiki mas Chrisye? (Dah mendingan sekarang mas Chrisye)”.
Otakku langsung merespon pertanyaan Sisca dengan cepatnya. “Pinggangku wes mendingan, tapi roso-roso’ne pokangku rodo linu. Coba’en diurut pisan pokangku. (Pinggangku sudah mendingan, tapi rasanya pahaku rada linu. Coba diurut juga pahaku)” jawabku ngawur tapi mengena.
Tanpa protes atau bertanya Sisca langsung mengurut pahaku. Pertama-tama paha kananku kemudian paha kiriku, saling bergantian. Posisi tubuhku kini terlentang, sehingga setiap urutan-urutan yang diberikan Sisca sangat terasa nikmat. Ada sesuatu yang mengganjal di dalam celana dalamku, ingin berdiri saja maunya. Yah singkat kata, batang kontolku dah dari tadi ingin sekali berdiri, tapi masih tertahan oleh celana dalamku.

Setelah selang beberapa saat, dengan tanpa malu-malu, tanpa basa-basi, dan dengan pasang muka beton, aku mulai memberanikan diri.
“Sisca, saiki pokangku wis ora linu maneh, tapi saiki kontolku dadi rodo linu. Koyok’e nyambung teko pokang. Tolong sisan, tapi dielus-elus endokku lek ora keberatan. (Sisca, sekarang pahaku dah ngga linu lagi, tapi sekarang buah zakarku jadi rada linu. Kayaknya nyambung dari paha deh. Tolong juga, tapi dielus-elus saja buah zakarku kalo ngga keberatan.)”, pintaku tidak tau diri.

Sisca sempat terhenti, dan bengong aja melihat tingkah polahku yang tidak tau diri itu. Di raut wajahnya tidak tampak seperti protes atau marah, melainkan seperti kaget dan bengong seakan-akan bertanya-tanya.
“Kok iso linu endok’e mas Chrisye … emange endok’e mas Chrisye melok kepleset? (Kok bisa linu buah zakar mas Chrisye … emangnya buah zakar mas Chrisye ikut terpeleset?)” tanya Sisca lugu.
“Yah, koyok’e ngono. (Yah, kayaknya begitu)” jawabku singkat.
Tanpa banyak tanya lagi, Sisca perlahan-lahan mulai mengelus-elus buah zakarku dari luar celanaku. Rasanya tidak begitu nikmat, tapi ada getaran napsu yang muncul dari otakku.
“Uenak mas Chrisye? (Enak mas Chrisye?)” tanya Sisca. Aku menjawab dengan mengeleng-gelengkan kepalaku pertanda tidak enak.
“Yo opo sek uenak? (Trus gimana yang enak?)” tanya Sisca lagi.
Aku berpikir sejenak, kemudian aku perolotin celanaku berserta celana dalamku. Serentak melihat gelagatku, Sisca kaget bukan main dan secara reflek memejamkan matanya.
“Mas Chrisyenn … lopo kok mlorotin katok … ora ono acara’ne ngomong dhisik … (Mas Chrisyenn … kenapa kok melorotin celana … tanpa ada acara ngomong lagi)” protes Sisca dengan matanya yang masih terpejam.
“Loh, Sisca sek tas mau takok yok opo cekno uenak … lah ya aku plorotin wae katok’e … cekno uenak elus-elusan’e (Lho, Sisca tadi tanya gimana caranya biar enak … yah aku lepas saja celananya … biar enak elus-elusannya)” jawabku menyakinkan Sisca.
Sisca masih tetap memejamkan matanya, tapi tangannya mencoba meraba-raba pahaku mencari buah zakarku lagi. Setelah mendapatkan buah zakarku, Sisca kembali mengelus-elusnya lagi. Kali ini … alamak … enak banget. Terasa lembut sekali tangan Sisca. Serentak saja, batang penisku langsung tegak dan mengeras.
“Lah … opo iki mas Chrisye … kok atos soro? (Lho … apa ini mas Chrisye … kok keras banget?)” tanya Sisca heran dengan mata sambil terpejam.
“Yo delok’en wae Sisca … buka’en moto-mu cekno weruh … ora bahaya kok (Yah liat aja Sisca … buka dulu matanya biar tau … ngga bahaya kok)” jawabku dengan jantungku berdegup-degup kencang.
Perlahan-lahan Sisca membuka matanya, dan langsung terbelak kedua matanya sambil terheran-heran.
“Lah … manuk’e mas Chrisye kok iso ngaceng koyok ngono … linu sisan tah? (Lho … burung mas Chrisye kok bisa tegang kayak gitu … linu juga tah?)” tanya Sisca lugu.
“Iki jeneng’e manukku ‘happy’ alias seneng … soale endok’e dielus-elus wong wedok sing ayu kayak Sisca (Ini namanya burungku ‘happy’ alias senang … soalnya buah zakarnya dielus-elus wanita cantik kayak Sisca)” kataku mulai merayu.
“Mas Chrisye iki … (Mas Chrisye ini …)” kata-katanya terputus dan terlihat wajah Sisca yang malu-malu atas pujianku itu. Sisca ternyata masih lugu dalam hal beginian, membuatku semakin yakin kalo Sisca ini masih ting-ting alias perawan.
Tanpa disuruh olehku, Sisca mulai mengelus-elus batang penisku dengan lembut, kadang-kadang mengurut-urutnya. Tak karuan rasa, semakin dielus, semakin tegang dan tegak berdiri. Sisca dari tadi senyum-senyum saja, dan tampak wajahnya yang masih malu-malu.
Setelah lama dielus-elus oleh Sisca batang penisku berserta buah zakarnya, aku ingin melaju di langkah berikutnya. Aku semakin berani dan tidak sungkan-sungkan lagi. Sambil berbaring kutatap wajah cantik dan manis Sisca.

“Sisca …” kataku.
“Emmm …” jawab Sisca singkat.
“Saiki gantian yo … (Sekarang gantian yah)” kataku.
“Gantian yo opo? (Gantian gimana?)” tanya Sisca.
“Hmmm … ngene … saiki gantian aku … teko mau Sisca wis delok manukku mbek endokku … sek dielus-elus maneh … saiki gantian aku seng delok tempik’e Sisca (Hmmm … gini … sekarang gantian aku … dari tadi Sisca dah liat burungku ama buah zakarku … dan dielus-elus lagi … sekarang gantian aku yang liat memiaw Sisca” kataku tanpa basa-basi.
“Emoh mas Chrisye … isin aku … ojok mas Chrisye … (Ngga mau mas Chrisye … malu aku … jangan mas Chrisye)” tolak Sisca.
Penolakan Sisca yang setengah hati itu membuatku makin penasaran dan makin bernapsu. Aku beranjak dari ranjang, dan memaksa lembut Sisca untuk merebahkan tubuhnya di atas ranjangku. Setelah berhasil merebahkan tubuhnya Sisca langsung bertanya.
“Mas Chrisyenn … kate diapakno aku? (Mas Chrisyenn … mau diapain aku?)” tanya Sisca pasrah.
“Menengo wae Sisca … ora aku apak-apak’no kok … mek arep delok tempik’e Sisca … ora adil lek teko mau manukku tok seng didelok (Diam aja Sisca … ngga bakalan aku apa-apain kok .. cuman pengen liat memiaw Sisca aja …ngga adil kalo dari tadi burungku saja yang diliat)” kataku bohong. Padahal dibalik benakku banyak hal yang aku ingin lakukan terhadap Sisca, terutama terhadap tubuhnya.
Aku sekap roknya, dan aku tarik celana dalam dibalik roknya. Sisca berusaha menahannya, tapi usahanya sia-sia, karena dia menahannya dengan setengah hati alias tidak dengan sekuat tenaga. Kelakuan Sisca ini seperti lampu hijau untukku. Seakan-akan pasrah saja mau diapain olehku.
Setelah berhasil melepas celana dalamnya, aku tarik roknya ke atas perutnya, agar supaya aku bisa melihat jelas memiawnya. Secara reflek Sisca menutup memiawnya dengan tangannya.
“Wes mas Chrisyenn … isin tenan aku … (Udahan mas Chrisyenn … malu banget aku …)” kata Sisca.
“Durung Sisca … ojok mbok ditutupi tok tempik’e … ora ketokan … (Belon Sisca … jangan ditutup terus dong memiawnya … ngga keliatan)” kataku protes.
Aku kemudian tarik tangannya yang sedang menutupi memiawnya. Sisca langsung menutup mukanya dengan kedua tangannya, dan kedua pahanya menyilang. Sisca masih terus berusaha menyembunyikan memiawnya dariku. Bisa aku maklumi perasaan malu yang sedang Sisca alami. Aku mencoba merayu dan menyakinkan Sisca apa adanya.
“Ojok isin-isin Sisca … ora ono sing ndelok kok … men aku tok wae … (Jangan malu-malu Sisca … ngga ada siapa-siapa yang bisa liat kok … cuman ada aku saja …)” rayuku lagi.
Kini Sisca mulai pasrah, dan kedua pahanya yang tadinya menyilang, sekarang sudah mulai kendor. Segera saja aku ambil kesempatan ini untuk mengendorkan pertahanan Sisca. Setelah aku berhasil membuka selangkangan Sisca … alamak … aku langsung menelan ludah. memiaw Sisca begitu indah dan subur ditumbuhi oleh jembut-jembut yang masih lembut. Aku yakin jembut-jembut ini tidak pernah sekalipun Sisca cukur sejak pertama kali tumbuh, sehingga masih tampak halus lembut.
Kucoba lagi membuka selangkangan Sisca lebih lebar lagi, aku ingin sekali menemukan biji etil Sisca. Aku merasa kesulitan menemukan biji etil Sisca dengan mata terlanjang. Ketika aku mencoba membuka bibir memiaw Sisca untuk menemukan biji etilnya, Sisca langsung protes.
“Mas Chrisye … ojok mas … (Mas … jangan mas …)” pinta Sisca. Aku semakin gemas dengan nada penolakan pasrah Sisca.
Aku tidak mengubris permintaan Sisca, dan semakin gencar bergerilya mencari biji etilnya. Ternyata tidak susah menemukan biji etilnya dengan mencari pakai tangan. Aku mainin biji etilnya dengan gemas.
“Mas Chrisye … wes mas … uisin tenan aku … (Mas Chrisye … udahan mas … malu banget aku)” mohon Sisca.
Otakku sudah gelap, dan tetap memainkan biji etilnya. Ternyata tidak perlu memakan waktu lama untuk membuat memiaw Sisca basah. Mungkin ini pertama kalinya Sisca merasakan nafsu birahi alias horny. Dia seperti tidak tau harus bagaimana menghadapi situasi saat itu. Kedua tangan tidak lagi menutup wajahnya. Tangan kanannya bersembunyi di balik bantal, dan tangan kirinya meremas guling. Sisca menggigit bibir bawahnya, seolah-olah menahan geli. Tidak kudengar suara desahan dari mulut Sisca, tapi nafasnya kini sudah berubah menjadi memburu. Aku berasumsi bahwa Sisca masih belum bisa atau belum terbiasa mendesah.
“Sisca … tempik mu wis buasah tenan saiki … (Sisca … memiawmu dah basah banget sekarang)” pujiku.
“Masss … masss … wes masss … Sisca mbok opok’no … jarene mbek delok tok … saiki kok di dolen tempik ku (Masss … masss … udahan masss … diapain Sisca … katanya cuman mau liat aja … sekarang kok dimainin memiawku)” protes Sisca pasrah.
“Aku wes kesengsem karo tempikmu iki … gemesi wae … tak elus-elus malah dadi buasah … (Aku dah jatuh cinta ama memiawmu … bikin gemes aja … dielus-elus malah jadi basah) … ” kataku sambil bercanda.
Belum selesai aku melanjutkan kalimatku, Sisca secara reflek tiba-tiba menjerit “Mas Chrisyenn … massssss …”. Sisca orgasme di atas ranjangku.
Aku biarkan Sisca mengambil nafas dulu biar sedikit tenang.
“Sisca sek tas mau kok bengok … loro tah? (Sisca barusan aja kok teriak … sakit?” tanyaku pura-pura bego.
“Ora loro mas … sek tas-an Sisca koyok kesetrum … rasa’e koyok nang surgo … uenak tenan … atiku saiki sek dek-dekan (Ngga sakit mas … barusan Sisca kayak kena setrum … rasanya seperti di surga … enak banget … jantungku sekarang masih deg-degan)” jawab Sisca.
Kini saatnya giliranku untuk orgasme. tongkolku sudah sejak tadi tegang melihat kelakuan Sisca. Pekerjaanku masih belum tuntas. Aku bingung apa yang harus aku katakan ke Sisca bahwa aku ingin menyodok tongkolku ini ke dalam memiawnya yang masih perawan itu.
Akhirnya aku memutuskan untuk tidak bertanya atau berkata apapun. Aku mencoba untuk langsung main terobos saja. Aku kembali membuka selangkangan Sisca, dan mencoba mengarahkan tongkolku ke mulut memiawnya. Sisca protes lagi.
“Mas Chrisye arep opo? (Mas Chrisye mau apa?)” tanya Sisca heran.
“Oh … aku gelem kesetrum sisan … koyok Sisca seng mau (Oh … aku juga mau kesetrum … kayak Sisca tadi)” jawabku spontan.
“Lah … terus laopo manuk’e mas kate mlebu nang tempikku? (Lho … trus kenapa burung mas mau masuk ke memiawku?)” tanya Sisca heran.
Sisca benar-benar masih bau kencur di dalam urusan seperti ini. Mungkin tidak ada orang yang pernah mengajarinya teori tentang hubungan seks atau biasanya disebut dengan hubungan pasutri (pasangan suami istri).
“Aku baru iso kesetrum lek manukku mlebu nang tempikmu (Aku baru bisa kesetrum kalo burungku masuk ke memiawmu)” jawabku gombal.
“Ojok mas … engkuk loro … jarene wong-wong (Jangan mas … nanti sakit … katanya orang-orang)” katanya.
“Ojok wedhi Sisca … tak mlebu pelan-pelan wae … tak jamin ora loro (Jangan takut Sisca … dimasukin pelan-pelan aja … dijamin ngga sakit)” rayuku.
Sisca diam saja dan pasrah.
Aku kemudian mengarahkan ujung penisku ke bibir vagina/memiaw Sisca. Sisca memejamkan matanya, dan kini giginya kembali menggigit bibir bawahnya.
Tangan kananku memegang pangkal penisku agar batang tongkolku tegak dengan mantap, dan tangan kiriku berusaha membuka bibir vagina Sisca, supaya aku bisa melihat lubang memiawnya. Karena Sisca masih perawan, ngga mudah untuk menembuh pintu masuk gadis perawan. Hal ini sudah aku alami sekali dengan pacar lamaku. Aku ngga ingin melihat Sisca nantinya menangis seperti yang dialami oleh mantan pacarku yang dulu, setelah aku paksa masuk batang tongkolku ke lubang memiawnya yang masih perawan.
Pertama-tama aku basahi terlebih dahulu ujung penisku dengan air ludahku biar menjadi pelumas sementara, kemudian aku dorong masuk ujung penisku kira-kira sedalam 2 centi. Setelah berhasil masuk kira-kira kedalaman 2 centi, aku diam sejenak, kulihat Sisca sedikit meringis menahan perih.
“Perih Sisca?” tanyaku iba.
“Rodok perih mas (Rada perih dikit mas)” jawab Sisca yang kini matanya kembali terbuka memandangku.
“Tak mlebu alon-alon yah … lek perih ngomong’o … ojok meneng ae … (Aku masukin pelan-pelan yah … kalo perih bilang aja … jangan diam aja) …” suruhku.
Suasana kamarku makin panas saja rasanya. Aku lepas bajuku, sehingga kini aku sudah terlanjang bebas. Kondisi Sisca masih lengkap, hanya roknya saja yang terbuka.
Batang penisku yang dari tadi sudah masuk 2 centi itu masih tampak keras saja. Aku kini tidak lagi memegangi batang tongkolku, karena dengan menancap 2 centi saja di dalam memiaw Sisca dalam kondisi amat tegang, mudah untukku menembus semua batang tongkolku. Tapi kini aku harus memasang taktik biar Sisca nantinya juga menikmati. Perih adalah maklum untuk gadis perawan yang sedang diperawani.
Kedua tanganku kini menahan tubuhku. Aku membungkuk dan menatapi wajah Sisca yang cantik. Sisca masih terlihat sedikit merintih karena rasa pedih yang dialaminya.
Aku menekan lagi batang penisku, masuk sedikit, kira-kira setangah sampai 1 centi. Sisca meringis lagi.
Aku mainkan pinggulku maju dan mundur agar batang penisku maju mundur di dalam liang memiaw Sisca. Batang tongkolku cuman mentok sampai kedalaman kira-kira 3 centi. Tapi aku terus bersabar sampai nanti tiba nanti saatnya yang tepat. Aku teruskan irama maju mundur batang tongkolku di dalam memiaw Sisca.
Perlahan-lahan suara rintihan Sisca semakin memudar, dan wajah Sisca tidak lagi merintih. Ujung penisku terasa basah oleh cairan yang kental. Aku yakin cairan ini bukan air liurku yang tadi, melainkan cairan murni dari memiaw Sisca.
Sekarang batang tongkolku bisa masuk perlahan-lahan lebih dalam lagi, dari 3 centi maju menjadi 4 centi, kemudian dari 4 centi masuk lebih dalam lagi menjadi 6 centi.
“Sek perih Sisca? (Masih pedih Sisca?)” tanyaku. Sisca menggeleng-gelengkan kepala pertanda tidak lagi sakit.
Napas Sisca kini kembali memburu dan terengah-engah, dan tidak lagi menggigit bibir bawahnya. Tangan kanannya meremas sarung ranjangku dan tangan kirinya meremas selimutku.
Goyangan pinggulku aku percepat sedikit demi sedikit, memberikan sensasi erotis terhadap memiaw Sisca. Dalam sekejap kini aku bisa membuat batang tongkolku kini terbenam semuanya di dalam lubang kenikmatan milik Sisca.
“Sek perih Sisca? (Masih pedih Sisca?)” tanyaku sekali lagi. Sisca kali ini tersenyum malu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya lagi.
“Tempik mu wis uenak maneh? (memiawmu dah enakan lagi?)” tanyaku bercanda. Sisca mengangguk.
“Sisca … buka en klambimu … mosok ga kroso panas tah? … buka en ae cekno adem (Sisca … buka dong bajumu … masa ngga merasa panas? … buka aja biar sejuk)” kataku. Aku sebenarnya ingin memperawani Sisca dalam keadaan benar-benar terlanjang.
Nanti menurut saja, dan kemudian dia melepas kaos bersama BH-nya, dan masih membiarkan roknya, karena batang tongkolku masih sibuk menari-nari di dalam lubang memiawnya. Tampak payudara Sisca yang merekah dengan ukuran 32C menurut tafsiranku. Tidak terlalu besar, dan juga tidak terlalu kecil. Pas untuk ukuranku. Puting susunya berwarna coklat gelap. Typical atau khas payudara wanita asli Indonesia. Melihat puting susunya yang menantang seperti itu, membuatku gemas rasanya. Aku mencubit sambil memelintir puting susunya, dan Sisca protes atas tindakanku tersebut.
“Masss … loro masss … (Masss … sakit masss …)” protes Sisca lembut. Aku pun kemudian senyum padanya, dan langsung menghentikan tindakanku tersebut.
Aku merasa sudah lama aku menggenjot tubuh Sisca siang itu. Tapi aku masih belum menampakkan tanda-tanda akan datangnya klimaksku. Aku sejak tadi berpikir antara iya atau tidak nantinya aku memuncratkan air maniku ke dalam memiawnya. Sejujurnya aku berkeinginan hati untuk menyirami memiaw Sisca dengan air maniku, tapi aku juga rada kuatir akan konsekwensinya bila terjadi apa-apa dengannya, alias hamil nantinya.
Nafas Sisca semakin memburu saja, tapi wajahnya tampak makin gelap saja. Darah Sisca seakan-akan memanas dan terkumpul di atas kepalanya. Kali ini Sisca tak kuat untuk menahan genjotan-genjotan dan gesekan-gesekan nikmat yang diberikan oleh batang tongkolku. Mulut Sisca kini tak terkontrol. Untuk pertama kalinya mulut Sisca mendesah atau merintih basah.
“Uhh … ohhh … masss … masss … kerih (geli) masss …” rintih Sisca.
“Aku kerih sisan Sisca … Sisca wis arep ngoyo? (Aku geli juga Sisca … Sisca sudah mau pipis?)” tanyaku penasaran melihatnya sudah seperti cacing kepanasan. Leher Sisca sudah mulai berkeringat. Sekujur badanku juga tidak kalah keringatnya. Semakin berkeringat, semakin seru saja aku menggagahi tubuh Sisca.
Seperti tau apa yang aku maksud dengan kata ‘pipis’, Sisca pun menganggukkan kepalanya. Sisca sudah akan memasuki tahap orgasme yang kedua kalinya.
Tidak sampai hitungan 2 menit, Sisca tiba-tiba memiawik sambil tangan kanannya meremas biceps-ku.
“Masss … ampunnn masss … kerih mbanget … arep ngoyo ketok’e … aahhh … (Masss … ampunnn masss … geli banget … ingin pipis rasanya … ahhh …)” pekik Sisca dengan tangan kanannya yang masih meremas biceps-ku.
Tidak salah lagi, Sisca telah mencapai orgasme keduanya. memiawnya semakin basah saja. Aku berhenti menggenjotnya dan mendiamkan batang tongkolku tertanam dalam-dalam di dalam memiawnya yang basah nan hangat. Kurasakan setiap denyutan daging-daging di dalam memiaw Sisca.
Setelah buruan nafasnya mereda, aku cabut batang tongkolku keluar dengan maksud untuk melepas roknya yang masih menempel di tubuhnya. Aku ingin melihatnya bugil tanpa busana apapun. Saat kutarik batang tongkolku, aku melihat sedikit bercak darah di tengah-tengah batang tongkolku, dipangkal tongkolku, dan di daerah bulu jembutku. Kuperawani sudah Sisca, dan ini adalah bukti keperawanan Sisca yang telah aku renggut darinya.
Sisca kini bugil tanpa selembar kain apapun. Aku kembali memasukkan batang tongkolku ke dalam memiawnya. Masih terasa basah liang memiaw Sisca.
“Sisca … saiki aku sing kate ngoyo … siap-siap yo (Sisca … sekarang aku yang harus pipis … siap-siap yah)” kataku.
Sisca seperti tidak mengerti apa yang aku katakan, tapi kepala mengangguk saja (hanya menurut saja). Aku kembali menggenjoti liang memiawnya lebih cepat dari biasanya. Kupercepat setiap hentakan-hentakan, dan bisa kurasakan kenikmatan gesekan-gesekan terhadap daging-daging di dalam memiaw Sisca. Memberikan sensasi yang luar biasa dasyatnya.
Wajah Sisca kembali memerah, dan kini nafasnya kembali memburu lagi. Kali ini Sisca sudah tidak malu-malu lagi untuk mendesah dan merintih nikmatnya bercinta.
“Sisca … kepenak temenan nyenuk karo Sisca … tempik-mu gurih tenan (Sisca … enak/senang banget ngent*t ama kamu … memiawmu gurih banget)” pujiku sambil terus menggenjot memiawnya.
“Masss Chrisye … masss … aku arep ngoyo maneh … ahhh masss … (Masss Chrisye … masss … aku pengen pipis lagi … ahhh masss …)” desah Sisca.
“Iku jenenge arep teko Sisca … ora arep ngoyo (Itu namanya mau datang Sisca … bukan mau pipis)” jawabku sambil tertawa renyah dan Sisca pun tersenyum bingung. Mungkin baginya istilah ‘datang’ masih terasa aneh.
Sekujur tubuhku berkeringat dan tergolong basah kuyup. Sudah berapa tetes keringatku yang jatuh di perut dan dada Sisca. Posisiku menyetubuhinya masih tetap berada di atas. Sejak tadi aku belum menyuruhnya merubah posisi. Mungkin bagiku lebih nyaman untuk Sisca digagahi dengan posisiku di atas. Sisca masih termasuk bau kencur dalam masalah beginian.
Batang tongkolku makin lama terasa makin mengeras. Lahar mani di dalamnya ingin segera meletup keluar. Aku sudah tidak mampu untuk berpikir dengan akal sehat kembali. Otot-otot disekujur batang tongkolku sudah tidak mampu lagi membentung lahar panas yang ingin segera menyembur keluar. Aku sudah tidak perduli lagi dengan rasa kuatirku tadi. Aku hanya ingin menyemburkan lahar panas ini secepat mungkin. Isi otakku sudah gelap rasanya.
“Sisca … aku arep teko iki … ora iso di tahan maneh … saiki Sisca … saikiii … Siscaii … (Sisca … aku mau datang nih … ngga bisa ditahan lagi … sekarang Sisca … sekaranggg … Siscaii)” aku mengerang keras diiringi oleh semburan lahar panas dari batang tongkolku yang mengisi semua liang memiaw Sisca. Semburan panas dari batang tongkolku mendapat sambutan hangat dari Sisca. Aku memeluk erat tubuh Sisca, dan Sisca membalas memelukku sambil memiawik memanggil namaku. Aku hanya dapat menduga bila Sisca mendapatkan orgasme-nya yang ketiga kali. Batang tongkolku berkali-kali memuntahkan lahar panasnya di dalam lubang kenikmatan milik Sisca. Mungkin sekarang liang memiaw Sisca penuh sesak oleh lahar maniku.
Aku diam sejenak, mengatur nafasku kembali. Tubuhku masih menindih tubuh Sisca. Kini semua keringatku bersatu dengan keringat Sisca. Aku memeluk Sisca, sambil menciumi lehernya. Batang tongkolku masih menancap di dalam memiaw Sisca. Aku masih belum ingin mencabutnya sampai nanti batang tongkolku sudah mulai meloyo.
“Sisca … terima kasih … ” bisikku dalam bahasa Indo. Sisca hanya diam saja. Tak lama kemudian, aku mendengar Sisca menyedot ingusnya. Ternyata mata Sisca tampak berkaca-kaca. Aku menduga kuat Sisca ingin sekali menangis, dan tampak penyesalan di wajahnya. Melihat tingkah laku Sisca, aku berusaha memberinya comfort (kenyamanan), dan rayuan agar membuatnya lega atau tidak sedih kembali. Aku mengatakan kepada Sisca bahwa ini adalah rahasia kita berdua, dan mengatakan bahwa aku sayang kepadanya. Aku berjanji padanya bahwa ini adalah untuk pertama dan terakhir kalinya aku menyetubuhinya. Sisca begitu menurut dengan kata-kataku dengan polos dan lugu.

Aku sedikit ada rasa penyesalan telah memperawani gadis cantik dan imut seperti Sisca. Aku meminta maaf kepadanya karena aku khilaf dan tidak dapat menahan keinginanku itu karena sejak lama aku memantau dan melihat sosok dirinya dari kejauhan. Begitu dekat dengannya, aku tidak mampu lagi menahan nafsu birahiku.
Selama liburan musim panas tersebut, aku sering sekali mencuri-curi waktu dan tempat untuk bersetubuh dengan Sisca. Sejak pertama kali memperawaninya, agak susah untukku untuk menggagahi tubuh nikmatnya lagi. Sisca selalu menolak dengan alasan takut sakit atau apa gitu. Tapi dasar lelaki yang penuh dengan akal muslihat, aku tetap berhasil menikmati tubuhnya dan memiawnya berkali-kali.
Untung saja, makin lama Sisca semakin menyukai berhubungan badan denganku. Banyak teknik yang aku ajarkan kepadanya, dari BJ, HJ, dan posisi bercinta yang lain (doggy style, woman on top, gaya menyamping, dll). Aku kadang meminta Sisca memberikan BJ atau HJ di ruang keluarga sambil aku menonton TV disaat tidak ada orang di rumah.
Sejak saat itu pula, aku selalu memakai condom untuk mencegah sesuatu yang tidak diinginkan. Aku tidak ingin aib ini sampai tercium oleh anggota keluargaku yang lain.

Sudah sering kali aku bermain cinta dengan Sisca di liburan musim panas ini. Aku sempat mengganti tanggal pesawatku kembali ke Melbourne agar aku bisa lebih lama di Indonesia. Aku kembali ke Melbourne untuk melanjutkan studiku lagi sekitar akhir Februari. Semenjak kembali ke Melbourne lagi, aku kangen dengan Sisca, dan rindu bercinta dengannya. Kadang-kadang aku menelpon rumah di waktu siang hari (waktu Indonesia) untuk mengobrol dengan Sisca. Dan seputar obrolan kami adalah tentang ‘gituan’ aja.
Studiku tinggal 1 semester lagi. Aku sudah tidak sabar untuk menyelesaikan studiku ini, agar aku bisa kembali ke Indonesia bertemu kembali dengan Sisca. Sebenarnya aku sendiri tidak tau bagaimana masa depanku dengan Sisca. Tapi aku berkeinginan untuk tetap tinggal di Malang, paling tidak melanjutkan atau bekerja di kantor perusahaan papa. Dengan ini aku bisa senantiasa dekat dengan Sisca. Biarlah nanti waktu yang akan menentukan nasibku dengan Sisca.






point blank ; register point blank ; daftar point blank ; download point blank ; cheat point blank ; cheats point blank ; cheat point blank terbaru ; cheat point blank hari ini ; cheat point blank terupdate ; point blank ; point blank cheat ; point blank cheats ; cit point blank ; aplikasi hp ; cerita bokep ; info news ; software gratis

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Premium Wordpress Themes