Tidak sampai di situ, beberapa menit
kemudian Pak Hr membalik tubuhku
hingga menungging di hadapannya.
Ia ingin pakai doggy style rupanya.
Tangan lelaki itu kini lebih leluasa
meremas-remas kedua belah payudara aku yang kini
menggantung berat ke bawah.
Sebagai seorang wanita aku memiliki
daya tahan alami dalam bersetubuh.
Tapi bahkan kini aku kewalahan
menghadapi Pak Hr. Laki-laki itu benar-benar luar biasa tenaganya.
Sudah hampir setengah jam ia
bertahan. Aku yang kini duduk
mengangkangi tubuhnya hampir
kehabisan nafas. Kupacu terus goyangan pinggulku,
karena aku merasa sebentar lagi aku
akan memperolehnya. Terus…,
terus…, aku tak peduli lagi dengan
gerakanku yang brutal ataupun
suaraku yang kadang-kadang memekik menahan rasa luar biasa
itu. Dan ketika klimaks itu sampai,
aku tak peduli lagi…, aku memekik
keras sambil menjambak rambutnya.
Dunia serasa berputar. Sekujur
tubuhku mengejang. Sungguh hebat rasa yang kurasakan kali ini.
Sungguh ironi memang, aku
mendapatkan kenikmatan seperti ini
bukan dengan orang yang aku
sukai. Tapi masa bodohlah. Berkali-kali kuusap keringat yang
membasahi dahiku. Pak Hr kemudian
kembali mengambil inisiatif. kini
gantian Pak Hr yang menindihi
tubuhku. Ia memacu keras untuk
mencapai klimaks. Desah nafasnya mendengus-dengus seperti kuda liar,
sementara goyangan pinggulnya
pun semakin cepat dan kasar.
Peluhnya sudah penuh membasahi
sekujur tubuhnya dan tubuhku.
Sementara kami terus berpacu. Sungguh hebat laki-laki ini.
Walaupun sudah berumur tapi masih
bertahan segitu lama. Bahkan
mengalahkan semua cowok-cowok
yang pernah tidur denganku,
walaupun mereka rata-rata sebaya denganku. Namun beberapa saat kemudian, Pak
Hr mulai menggeram sambil
mengeretakkan giginya. Tubuh lelaki
tua itu bergetar hebat di atas
tubuhku. Penisnya menyemburkan
cairan kental yang hangat ke dalam liang kemaluanku dengan derasnya. Beberapa saat kemudian, perlahan-
lahan kami memisahkan diri. Kami
terbaring kelelahan di atas kasur itu.
Nafasku yang tinggal satu-satu
bercampur dengan bunyi nafasnya
yang berat. Kami masing-masing terdiam mengumpulkan tenaga kami
yang sudah tercerai berai. Aku sendiri terpejam sambil mencoba
merasakan kenikmatan yang baru
saja aku alami di sekujur tubuhku ini.
Terasa benar ada cairan kental yang
hangat perlahan-lahan meluncur
masuk ke dalam liang vaginaku. Hangat dan sedikit gatal menggelitik. Bagian bawah tubuhku itu terasa
benar-benar banjir, basah kuyub.
Aku menggerakkan tanganku untuk
menyeka bibir bawahku itu dan
tanganku pun langsung dipenuhi
dengan cairan kental berwarna putih susu yang berlepotan di sana. “Bukan main Winda, ternyata kau
pun seperti kuda liar!” kata Pak Hr
penuh kepuasan. Aku yang
berbaring menelungkup di atas
kasur hanya tersenyum lemah. aku
sungguh sangat kelelahan, kupejamkan mataku untuk sejenak
beristirahat. Persetan dengan
tubuhku yang masih telanjang bulat. Pak Hr kemudian bangkit berdiri, ia
menyulut sebatang rokok. Lalu lelaki
tua itu mulai mengenakan kembali
pakaiannya. Aku pun dengan malas
bangkit dan mengumpulkan
pakaiannya yang berserakan di lantai. Sambil berpakaian ia bertanya,
“Bagaimana dengan ujian saya
pak?”. “Minggu depan kamu dapat
mengambil hasilnya”, sahut laki-laki
itu pendek. “Kenapa tidak besok pagi saja?”,
protes aku tak puas. “Aku masih ingin bertemu kamu,
selama seminggu ini aku minta agar
kau tidak tidur dengan lelaki lain
kecuali aku!”, jawab Pak Hr. Aku sedikit terkejut dengan
jawabannya itu. Tapi akupun segera
dapat menguasai keadaanku.
Rupanya dia belum puas dengan
pelayanan habis-habisanku barusan. “Aku tidak bisa janji!”, sahutku
seenaknya sambil bangkit berdiri
dan keluar dari kamar mencari kamar
mandi. Pak Hr hanya mampu
terbengong mendengar jawabanku
yang seenaknya itu. Aku sedang berjalan santai
meninggalkan rumah pak Hr, ini
pertemuanku yang ketiga dengan
laki-laki itu demi menebus nilai
ujianku yang selalu jeblok jika ujian
dengan dia. Mungkin malah sengaja dibuat jeblok biar dia bisa main
denganku. Dasar…, namun harus
kuakui, dia laki-laki hebat, daya
tahannya sungguh luar biasa jika
dibandingkan dengan usianya yang
hapir mencapai usia pensiun itu. Bahkan dari pagi hingga sore hari ini
dia masih sanggup menggarapku
tiga kali, sekali di ruang tengah
begitu aku datang, dan dua kali di
kamar tidur. Aku sempat terlelap
sesudahnya beberapa jam sebelum membersihkan diri dan pulang.
Berutung kali ini, aku bisa
memaksanya menandatangani
berkas ujian susulanku. “Masih ada mata kuliah Pengantar
Berorganisasi dan Kepemimpinan”,
katanya sambil membubuhkan nilai
A di berkas ujianku. “Selama bapak masih bisa
memberiku nilai A”, kataku pendek. “Segeralah mendaftar, kuliah akan
dimulai minggu depan!”. “Terima kasih pak!” kataku sambil
tak lupa memberikan senyum
semanis mungkin.
“Winda!” teriakan seseorang
mengejutkan lamunanku. Aku
menoleh ke arah sumber suara tadi
yang aku perkirakan berasal dari
dalam mobil yang berjalan perlahan
menghampiriku. Seseorang membuka pintu mobil itu, wajah
yang sangat aku benci muncul dari
balik pintu Mitsubishi Galant keluaran
tahun terakhir itu. “Masuklah Winda…”. “Tidak, terima kasih. Aku bisa jalan
sendiri koq!”, Aku masih mencoba
menolak dengan halus. “Ayolah, masa kau tega menolak
ajakanku, padahal dengan pak Hr
saja kau mau!”. Aku tertegun sesaat, Bagai disambar
petir di siang bolong. “Da…,Darimana kau tahu?”. “Nah, jadi benar kan…, padahal aku
tadi hanya menduga-duga!” “Sialan!”, Aku mengumpat di dalam
hati, harusnya tadi aku bersikap lebih
tenang, aku memang selalu nervous
kalau ketemu cowok satu ini,
rasanya ingin buru-buru pergi dari
hadapannya dan tidak ingin melihat mukanya yang memang seram itu. Seperti tipikal orang Indonesia
bagian daerah paling timur, cowok
ini hitam tinggi besar dengan postur
sedikit gemuk, janggut dan cambang
yang tidak pernah dirapikan dengan
rambut keritingnya yang dipelihara panjang ditambah dengan caranya
memakai kemeja yang tidak pernah
dikancingkan dengan benar
sehingga memamerkan dadanya
yang penuh bulu. Dengan asesoris
kalung, gelang dan cincin emas, arloji rolex yang dihiasi berlian…, cukup
menunjukkan bahwa dia ini orang
yang memang punya duit. Namun,
aku menjadi muak dengan
penampilan seperti itu. Dino memang salah satu jawara di
kampus, anak buahnya banyak dan
dengan kekuatan uang serta gaya
jawara seperti itu membuat dia
menjadi salah satu momok yang
paling menakutkan di lingkungan kampus. Dia itu mahasiswa lama, dan
mungkin bahkan tidak pernah lulus,
namun tidak ada orang yang berani
mengusik keberadaannya di kamus,
bahkan dari kalangan akademik
sekalipun. “Gimana? Masih tidak mau masuk?”,
tanya dia setengah mendesak. Aku tertegun sesaat, belum mau
masuk. Aku memang sangat tidak
menyukai laki-laki ini, Tetapi
kelihatannya aku tidak punya pilihan
lain, bisa-bisa semua orang tahu apa
yang kuperbuat dengan pak Hr, dan aku sungguh-sungguh ingin
menjaga rahasia ini, terutama
terhadap Erwin, tunanganku. Namun
saat ini aku benar benar terdesak
dan ingin segera membiarkan
masalah ini berlalu dariku. Makanya tanpa pikir panjang aku mengiyakan
saja ajakannya. Dino tertawa penuh kemenangan, ia
lalu berbicara dengan orang yang
berada di sebelahnya supaya
berpindah ke jok belakang. Aku
membanting pantatku ke kursi mobil
depan, dan pemuda itu langsung menancap gas. Sambil nyengir kuda.
Kesenangan. “Ke mana kita?”, tanyaku hambar. “Lho? Mestinya aku yang harus
tanya, kau mau ke mana?”, tanya
Dino pura-pura heran. “Sudahlah Dino, tak usah berpura-
pura lagi, kau mau apa?”, Suaraku
sudah sedemikian pasrahnya. Aku
sudah tidak mau berpikir panjang
lagi untuk meminta dia menutup-
nutupi perbuatanku. Orang yang duduk di belakangku tertawa. “Rupanya dia cukup mengerti apa
kemauanmu Dino!”, Dia
berkomentar. “Ah, diam kau Maki!” Rupanya orang
itu namanya Maki, orang dengan
penampilan hampir mirip dengan
Dino kecuali rambutnya yang
dipotong crew-cut. “Bagaimana kalau ke rumahku saja?
Aku sangat merindukanmu Winda!”,
pancing Dino. “Sesukamulah…!”, Aku tahu benar
memang itu yang diinginkannya. Dino tertawa penuh kemenangan. Ia melarikan mobilnya makin
kencang ke arah sebuah kompleks
perumahan. Lalu mobil yang
ditumpangi mereka memasuki
pekarangan sebuah rumah yang
cukup besar. Di pekarangan itu sudah ada 2 buah mobil lain, satu
Mitsubishi Pajero dan satu lagi Toyota
Great Corolla namun keduanya
kelihatan diparkir sekenanya tak
beraturan. Interior depan rumah itu sederhana
saja. Cuma satu stel sofa, sebuah rak
perabotan pecah belah. Tak lebih.
Dindingnya polos. Demikian juga
tempok ruang tengah. Terasa betapa
luas dan kosongnya ruangan tengah itu, meski sebuah bar dengan rak
minuman beraneka ragam terdapat
di sudut ruangan, menghadap ke
taman samping. Sebuah stereo set
terpasang di ujung bar. Tampaknya
baru saja dimatikan dengan tergesa- gesa. Pitanya sebagian tergantung
keluar.
Dari pintu samping kemudian muncul
empat orang pemuda dan seorang
gadis, yang jelas-jelas masih
menggunakan seragam SMU. Mereka
semua mengeluarkan suara
setengah berbisik. Keempat orang laki-laki itu, tiga orang sepertinya
sesuku dengan Dino atau
sebangsanya, sedangkan yang satu
lagi seperti bule dengan rambutnya
yang gondrong. Sementara si gadis
berperawakan tinggi langsing, berkulit putih dan rambutnya yang
hitam lurus dan panjang tergerai
sampai ke pinggang, ia memakai
bandana lebar di kepalanya dengan
poni tebal menutupi dahinya.
Wajahnya yang oval dan bermata sipit menandakan bahwa ia
keturunan Cina atau sebangsanya.
Harus kuakui dia memang cantik,
seperti bintang film drama Mandarin.
Berbeda dengan penampilan ketiga
laki-laki itu, gadis ini kelihatannya bukan merupakan gerombolan
mereka, dilihat dari tampangnya
yang masih lugu. Ia masih
mengenakan seragam sebuah
sekolah Katolik yang langsung bisa
aku kenali karena memang khas. Namun entah mengapa dia bisa
bergaul dengan orang-orang ini. Dino bertepuk tangan. Kemudian
memperkenalkan diriku dengan
mereka. Yos, dan Bram seperti tipikal
orang sebangsa Dino, Tito berbadan
tambun dan yang bule namanya
Marchell, sementara gadis SMU itu bernama Shelly. Mereka semua yang
laki-laki memandang diriku dengan
mata “lapar” membuat aku tanpa
sadar menyilangkan tangan di depan
dadaku, seolah-olah mereka bisa
melihat tubuhku di balik pakaian yang aku kenakan ini. Tampak tak sabaran Dino menarik
diriku ke loteng. Langsung menuju
sebuah kamar yang ada di ujung.
Kamar itu tidak berdaun pintu,
sebenarnya lebih tepat disebut ruang
penyangga antara teras dengan kamar-kamar yang lain Sebab di
salah satu ujungnya merupakan
pintu tembusan ke ruang lain. Di sana ada sebuah kasur yang
terhampar begitu saja di lantai kamar.
Dengan sprei yang sudah acak-
acakan. Di sudut terdapat dua buah
kursi sofa besar dan sebuah meja
kaca yang mungil. Di bawahnya berserakan majalah-majalah yang
cover depannya saja bisa membuat
orang merinding. Bergambar
perempuan-perempuan telanjang. Aku sadar bahkan sangat sadar, apa
yang dimaui Dino di kamar ini. Aku
beranjak ke jendela. Menutup
gordynnya hingga ruangan itu
kelihatan sedikit gelap. Namun tak
lama, karena kemudian Dino menyalakan lampu. Aku berputar
membelakangi Dino, dan mulai
melucuti pakaian yang aku kenakan.
Dari blouse, kemudian rok
bawahanku kubiarkan meluncur
bebas ke mata kakiku. Kemudian aku memutar balik badanku berbalik
menghadap Dino. Betapa terkejutnya aku ketika aku
berbalik, ternyata di hadapanku kini
tidak hanya ada Dino, namun Maki
juga sedang berdiri di situ sambil
cengengesan. Dengan gerakan
reflek, aku menyambar blouseku untuk menutupi tubuhku yang
setengah telanjang. Melihat
keterkejutanku, kedua laki-laki itu
malah tertawa terbahak-bahak. “Ayolah Winda, Toh engkau juga
sudah sering memperlihatkan tubuh
telanjangmu kepada beberapa laki-
laki lain?”. “Kurang ajar kau Dino!” Aku
mengumpat sekenanya. Wajah laki-laki itu berubah seketika,
dari tertawa terbahak-bahak menjadi
serius, sangat serius. Dengan tatapan
yang sangat tajam dia berujar,
“Apakah engkau punya pilihan lain?
Ayolah, lakukan saja dan sesudah selesai kita boleh melupakan
kejadian ini.” Aku tertegun, melayani dua orang
sekaligus belum pernah aku lakukan
sebelumnya. Apalagi orang-orang
yang bertampang seram seperti ini.
Tapi seperti yang dia bilang, aku tak
punya pilihan lain. Seribu satu pertimbangan berkecamuk di
kepalaku hingga membuat aku
pusing. Tubuhku tanpa sadar sampai
gemetaran, terasa sekali lututku
lemas sepertinya aku sudah
kehabisan tenaga karena digilir mereka berdua, padahal mereka
sama sekali belum memulainya. Akhirnya, dengan sangat berat aku
menggerakkan kedua tangan ke
arah punggungku di mana aku bisa
meraih kaitan BH yang aku pakai.
Baju yang tadi aku pakai untuk
menutupi bagian tubuhku dengan sendirinya terjatuh ke lantai. Dengan
sekali sentakan halus BH-ku telah
terlepas dan meluncur bebas dan
sebelum terjatuh ke lantai
kulemparkan benda itu ke arah Dino
yang kemudian ditangkapnya dengan tangkas. Ia mencium bagian
dalam mangkuk bra-ku dengan
penuh perasaan. “Harum!”, katanya. Lalu ia seperti mencari-cari sesuatu
dari benda itu, dan ketika
ditemukannya ia berhenti. “36B!”, katanya pendek. Rupanya ia pingin tahu berapa
ukuran dadaku ini. “BH-nya saja sudah sedemikian
harum, apalagi isinya!”, katanya
seraya memberikan BH itu kepada
Maki sehingga laki-laki itu juga ikut-
ikutan menciumi benda itu. Namun
demikian mata mereka tak pernah lepas menatap belahan payudaraku
yang kini tidak tertutup apa-apa lagi. Aku kini hanya berdiri menunggu,
dan tanpa diminta Dino melangkah
mendekatiku. Ia meraih kepalaku.
Tangannya meraih kunciran rambut
dan melepaskannya hingga
rambutku kini tergerai bebas sampai ke punggung. “Nah, dengan begini kau kelihatan
lebih cantik!”
Ia terus berjalan memutari tubuhku
dan memelukku dari belakang. Ia
sibakkan rambutku dan
memindahkannya ke depan lewat
pundak sebelah kiriku, sehingga
bagian punggung sampai ke tengkukku bebas tanpa penghalang.
Lalu ia menjatuhkan ciumannya ke
tengkuk belakangku. Lidahnya
menjelajah di sekitar leher, tengkuk
kemudian naik ke kuping dan
menggelitik di sana. Kedua belah tangannya yang kekar dan berbulu
yang tadi memeluk pinggangku kini
mulai merayap naik dan mulai
meremas-remas kedua belah
payudaraku dengan gemas. Aku
masih menanggapinya dengan dingin dengan tidak bereaksi sama
sekali selain memejamkan mataku. Dino rupanya tidak begitu suka aku
bersikap pasif, dengan kasar ia
menarik wajahku hingga bibirnya
bisa melumat bibirku. Aku hanya
berdiam diri saja tak memberikan
reaksi. Sambil melumat, lidahnya mencari-cari dan berusaha masuk ke
dalam mulutku, dan ketika berhasil
lidahnya bergerak bebas menjilati
lidahku hingga secara tak sengaja
lidahkupun meronta-ronta. Sambil memejamkan mata aku
mencoba untuk menikmati perasaan
itu dengan utuh. Tak ada gunanya
aku menolak, hal itu akan
membuatku lebih menderita lagi.
Dengan kuluman lidah seperti itu, ditingkahi dengan remasan-remasan
telapak tangannya di payudaraku
sambil sekali-sekali ibu jari dan
telunjuknya memilin-milin puting
susuku, pertahananku akhirnya
bobol juga. Memang, aku sudah sangat terbiasa dan sangat terbuai
dengan permaian seperti ini hingga
dengan mudahnya Dino mulai
membangkitkan nafsuku. Bahkan
kini aku mulai memberanikan
menggerakkan tangan meremas kepala Dino yang berada di
belakangku. Sementara dengan ekor
mataku aku melihat Maki beranjak
berjalan menuju sofa dan duduk di
sana, sambil pandangan matanya
tidak pernah lepas dari kami berdua. Mungkin karena merasa sudah
menguasai diriku, ciuman Dino terus
merambat turun ke leherku,
menghisapnya hingga aku
menggelinjang. Lalu merosot lagi
menelusup di balik ketiak dan merayap ke depan sampai akhirnya
hinggap di salah satu pucuk bukit di
dadaku, Dengan satu remasan yang
gemas hingga membuat puting
susuku melejit Dino untuk
mengulumnya. Pertama lidahnya tepat menyapu pentilnya, lalu
bergerak memutari seluruh daerah
puting susuku sebelum mulutnya
mengenyot habis puting susuku itu.
Ia menghisapnya dengan gemas
sampai pipinya kempot. Tubuhku secara tiba-tiba bagaikan
disengat listrik, terasa geli yang luar
biasa bercampur sedikit nyeri di
bagian itu. Aku menggelinjang,
melenguh apalagi ketika puting
susuku digigit-gigit perlahan oleh Dino. Buah anggur yang ranum itu
dipermainkan pula dengan lidah
Dino yang kasap. Dipilin-pilinnya
kesana kemari. Dikecupinya, dan
disedotnya kuat-kuat sampai
putingnya menempel pada telaknya. Aku merintih. Tanganku refleks
meremas dan menarik kepalanya
sehingga semakin membenam di
kedua gunung kembarku yang putih
dan padat. Aku sungguh tak tahu
mengapa harus begitu pasrah kepada lelaki itu. Mengapa aku
justeru tenggelam dalam permaianan
itu? Semula aku hanya merasa
terpaksa demi menutupi rahasia atas
perbuatanku. Tapi kemudian
nyatanya, permainan yang Dino mainkan begitu dalam. Dan aneh
sekali, Tanpa sadar aku mulai
mengikuti permainan yang dipimpin
dengan cemerlang oleh Dino. “Winda…”, “Ya?”, “Kau suka aku
perlakukan seperti ini?”. Aku hanya
mengangguk. Dan memejamkan
matanya. membiarkan payudaraku
terus diremas-remas dan puting
susunya dipilin perlahan. Aku menggeliat, merasakan nikmat yang
luar biasa. Puting susu yang mungil
itu hanya sebentar saja sudah
berubah membengkak, keras dan
mencuat semakin runcing. “Hsss…, ah!”, Aku mendesah saat
merasakan jari-jari tangan lelaki itu
mulai menyusup ke balik celana
dalamku dan merayap mencari liang
yang ada di selangkanganku. Dan
ketika menemukannya Jari-jari tangan itu mula-mula mengusap-
usap permukaannya, terus
mengusap-usap dan ketika sudah
terasa basah jarinya mulai merayap
masuk untuk kemudian menyentuh
dinding-dinding dalam liang itu. Dalam posisi masih berdiri
berhadapan, sambil terus
mencumbui payudaraku, Dino
meneruskan aksinya di dalam liang
gelap yang sudah basah itu. Makin
lama makin dalam. Aku sendiri semakin menggelinjang tak karuan,
kedua buah jari yang ada di dalam
liang vaginaku itu bergerak-gerak
dengan liar. Bahkan kadang-kadang
mencoba merenggangkan liang
vaginaku hingga menganga. Dan yang membuat aku tambah gila, ia
menggerak-gerakkan jarinya keluar
masuk ke dalam liang vaginaku
seolah-olah sedang menyetubuhiku.
Aku tak kuasa untuk menahan diri.
“Nggghh…!”, mulutku mulai
meracau. Aku sungguh kewalahan
dibuatnya hingga lututku terasa
lemas hingga akhirnya akupun tak
kuasa menahan tubuhku hingga
merosot bersimpuh di lantai. Aku mencoba untuk mengatur nafasku
yang terengah-engah. Aku sungguh
tidak memperhatikan lagi yang
kutahu kini tiba-tiba saja Dino telah
berdiri telanjang bulat di hadapanku.
Tubuhnya yang tinggi besar, hitam dan penuh bulu itu dengan
angkuhnya berdiri mengangkang
persis di depanku sehingga wajahku
persis menghadap ke bagian
selangkangannya. Disitu, aku melihat
batang kejantanannya telah berdiri dengan tegaknya. Besar panjang
kehitaman dengan bulu hitam yang
lebat di daerah pangkalnya. Dengan sekali rengkuh, ia meraih
kepalaku untuk ditarik mendekati
daerah di bawah perutnya itu. Aku
tahu apa yang dimauinya, bahkan
sangat tahu ini adalah perbuatan
yang sangat disukai para lelaki. Di mana ketika aku melakukan oral
seks terhadap kelaminnya. Maka, dengan kepalang basah,
kulakukan apa yang harus
kulakukan. Benda itu telah masuk ke
dalam mulutku dan menjadi
permainan lidahku yang berputar
mengitari ujung kepalanya yang bagaikan sebuah topi baja itu. Lalu
berhenti ketika menemukan lubang
yang berada persis di ujungnya. Lalu
dengan segala kemampuanku aku
mulai mengelomoh batang itu sambil
kadang-kadang menghisapnya kuat-kuat sehingga pemiliknya
bergetar hebat menahan rasa yang
tak tertahankan. Pada saat itu aku sempat melirik ke
arah sofa di mana Maki berada, dan
ternyata laki-laki ini sudah mulai
terbawa nafsu menyaksikan
perbuatan kami berdua. Buktinya, ia
telah mengeluarkan batang kejantanannya dan mengocoknya
naik turun sambil berkali-kali
menelan ludah. Konsentrasiku buyar
ketika Dino menarik kepalaku
hingga menjauh dari
selangkangannya. Ia lalu menarik tubuhku hingga telentang di atas
kasur yang terhampar di situ. Lalu
dengan cepat ia melucuti celana
dalamku dan dibuangnya jauh-jauh
seakan-akan ia takut aku akan
memakainya kembali. Untuk beberapa detik mata Dino
nanar memandang bagian bawah
tubuhku yang sudah tak tertutup
apa-apa lagi. Si Makipun sampai
berdiri mendekat ke arah kami
berdua seakan ia tidak puas memandang kami dari kejauhan. Namun beberapa detik kemudian,
Dino mulai merenggangkan kedua
belah pahaku lebar-lebar. Paha
kiriku diangkatnya dan
disangkutkan ke pundaknya. Lalu
dengan tangannya yang sebelah lagi memegangi batang kejantanannya
dan diusap-usapkan ke permukaan
bibir vaginaku yang sudah sangat
basah. Ada rasa geli menyerang di
situ hingga aku menggelinjang dan
memejamkan mata. Sedetik kemudian, aku merasakan
ada benda lonjong yang mulai
menyeruak ke dalam liang vaginaku.
Aku menahan nafas ketika terasa
ada benda asing mulai menyeruak di
situ. Seperti biasanya, aku tak kuasa untuk menahan jeritanku pada saat
pertama kali ada kejantanan laki-laki
menyeruak masuk ke dalam liang
vaginaku. Dengan perlahan namun pasti,
kejantanan Dino meluncur masuk
semakin dalam. Dan ketika sudah
masuk setengahnya ia bahkan
memasukkan sisanya dengan satu
sentakan kasar hingga aku benar- benar berteriak karena terasa nyeri.
Dan setelah itu, tanpa memberiku
kesempatan untuk membiasakan diri
dulu, Dino sudah bergoyang mencari
kepuasannya sendiri. Dino menggerak-gerakkan
pinggulnya dengan kencang dan
kasar menghunjam-hunjam ke dalam
tubuhku hingga aku memekik keras
setiap kali kejantanan Dino
menyentak ke dalam. Pedih dan ngilu. Namun bercampur nikmat
yang tak terkira. Ada sensasi aneh
yang baru pertama kali kurasakan di
mana di sela-sela rasa ngilu itu aku
juga merasakan rasa nikmat yang tak
terkira. Namun aku juga tidak bisa menguasai diriku lagi hingga aku
sampai menangis menggebu-gebu,
sakit keluhku setiap kali Dino
menghunjam, tapi aku semakin
mempererat pelukanku, Pedih, tapi
aku juga tak bersedia Dino menyudahi perlakuannya terhadap
diriku. Aku semakin merintih. Air mataku
meleleh keluar. kami terus bergulat
dalam posisi demikian. Sampai tiba-
tiba ada rasa nikmat yang luar biasa
di sekujur tubuhku. Aku telah
orgasme. Ya, orgasme bersama dengan orang yang aku benci.
Tubuhku mengejang selama
beberapa puluh detik. Sebelum
melemas. Namun Dino rupanya
belum selesai. Ia kini membalikkan
tubuhku hingga kini aku bertumpu pada kedua telapak tangan dan
kedua lututku. Ia ingin
meneruskannya dengan doggy style.
Aku hanya pasrah saja. Kini ia menyetubuhiku dari belakang.
Tangannya kini dengan leluasa
berpindah-pindah dari pinggang,
meremas pantat dan meremas
payudaraku yang menggelantung
berat ke bawah. Kini Dino bahkan lebih memperhebat serangannya. Ia
bisa dengan leluasa
menggoyangkan tubuhnya dengan
cepat dan semakin kasar. Pada saat itu tanpa terasa, Maki telah
duduk mengangkang di depanku.
Laki-laki ini juga telah telanjang bulat.
Ia menyodorkan batang penisnya ke
dalam mulutku, tangannya meraih
kepalaku dan dengan setengah memaksa ia menjejalkan batang
kejantanannya itu ke dalam mulutku.
Kini aku melayani dua orang
sekaligus. Dino yang sedang
menyetubuhiku dari belakang. Dan
Maki yang sedang memaksaku
melakukan oral seks terhadap
dirinya. Dino kadang-kadang malah menyorongkan kepalanya ke depan
untuk menikmati payudaraku. Aku
mengerang pelan setiap kali ia
menghisap puting susuku. Dengan
dua orang yang mengeroyokku aku
sungguh kewalahan hingga tidak bisa berbuat apa-apa. Malahan aku
merasa sangat terangsang dengan
posisi seperti ini. Mereka menyetubuhiku dari dua
arah, yang satu akan menyebabkan
penis pada tubuh mereka yang
berada di arah lainnya semakin
menghunjam. Kadang-kadang aku
hampir tersedak. Maki yang tampaknya mengerti kesulitanku
mengalah dan hanya diam saja. Dino
yang mengatur segala gerakan. Perlahan-lahan kenikmatan yang
tidak terlukiskan menjalar di sekujur
tubuhku. Perasaan tidak berdaya
saat bermain seks ternyata
mengakibatkan diriku melambung di
luar batas yang pernah kuperkirakan sebelumnya. Dan kembali tubuhku
mengejang, deras dan tanpa henti.
Aku mengalami orgasme yang
datang dengan beruntun seperti tak
berkesudahan. Tidak lama kemudian Dino
mengalami orgasme. Batang
penisnya menyemprotkan air mani
dengan deras ke dalam liang
vaginaku. Benda itu menyentak-
nyentak dengan hebat, seolah-olah ingin menjebol dinding vaginaku.
Aku bisa merasakan air mani yang
disemprotkannya banyak sekali,
hingga sebagian meluap keluar
meleleh di salah satu pahaku.
Sesudah itu mereka berganti tempat. Maki mengambil alih perlakuan Dino.
Masih dalam posisi doggy style.
Batang kejantanannya dengan mulus
meluncur masuk dalam sekali sampai
menyentuh bibir rahimku. Ia bisa
mudah melakukannya karena memang liang vaginaku sudah
sangat licin dilumasi cairan yang
keluar dari dalamnya dan sudah
bercampur dengan air mani Dino
yang sangat banyak. Permainan
dilanjutkan. Aku kini tinggal melayani Maki seorang, karena Dino
dengan nafas yang tersengal-sengal
telah duduk telentang di atas sofa
yang tadi diduduki Maki untuk
mengumpulkan tenaga. Aku
mengeluh pendek setiap kali Maki mendorong masuk miliknya. Maki
terus memacu gerakkannya. Semakin
lama semakin keras dan kasar
hingga membuat aku merintih dan
mengaduh tak berkesudahan. Pada saat itu masuk Bram dan Tito
bersamaan ke dalam ruangan. Tanpa
basa-basi, mereka pun langsung
melucuti pakaiannya hingga
telanjang bulat. Lalu mereka duduk
di lantai dan menonton adegan mesum yang sedang terjadi antara
aku dan Maki. Bram nampak
kelihatan tidak sabaran Tetapi aku
sudah tidak peduli lagi. Maki terus
memacu menggebu-gebu. Laki-laki
itu sibuk memacu sambil meremasi payudaraku yang menggelantung
berat ke bawah. Sesaat kemudian tubuhku dibalikkan
kembali telentang di atas kasur dan
pada saat itu Bram dengan tangkas
menyodorkan batang kejantanannya
ke dalam mulutku. Aku sudah
setengah sadar ketika Tito menggantikan Maki menggeluti
tubuhku. Keadaanku sudah
sedemikian acak-acakan. Rambut
yang kusut masai. Tubuhku sudah
bersimpah peluh. Tidak hanya
keringat yang keluar dari tubuhku sendiri, tapi juga cucuran keringat
dari para laki-laki yang bergantian
menggauliku. Aku kini hanya
telentang pasrah ditindihi tubuh
gemuk Tito yang bergoyang-goyang
di atasnya. Laki-laki gemuk itu
mengangkangkan kedua belah
pahaku lebar-lebar sambil terus
menghunjam-hunjamkan miliknya
ke dalam milikku. Sementara Bram
tak pernah memberiku kesempatan yang cukup untuk bernafas. Ia terus
saja menjejal-jejalkan miliknya ke
dalam mulutku. Aku sendiri sudah
tidak bisa mengotrol diriku lagi.
Guncangan demi guncangan yang
diakibatkan oleh gerakan Titolah yang membuat Bram makin
terangsang. Bukan lagi kuluman dan
jilatan yang harusnya aku lakukan
dengan lidah dan mulutku. Dan ketika Tito melenguh panjang, ia
mencapai orgasmenya dengan
meremas kedua belah payudaraku
kuat-kuat hingga aku berteriak
mengaduh kesakitan. Lalu beberapa
saat kemudian ia dengan nafasnya yang tersengal-sengal memisahkan
diri dari diriku. Dan pada saat hampir
bersamaan Bram juga mengerang
keras. Batang kejantanannya yang
masih berada di dalam mulutku
bergerak liar dan menyemprotkan air maninya yang kental dan hangat.
Aku meronta, ingin mengeluarkan
banda itu dari dalam mulutku, namun
tangan Bram yang kokoh tetap
menahan kepalaku dan aku tak
kuasa meronta lagi karena memang tenagaku sudah hampir habis. Cairan
kental yang hangat itu akhirnya
tertelan olehku. Banyak sekali.
Bahkan sampai meluap keluar
membasahi daerah sekitar bibirku
sampai meleleh ke leher. Aku tak bisa berbuat apa-apa, selain dengan
cepat mencoba menelan semua yang
ada supaya tidak terlalu terasa di
dalam mulutku. Aku memejamkan
mata erat-erat, tubuhku mengejang
melampiaskan rasa yang tidak karuan, geli, jijik, namun ada sensasi
aneh yang luar biasa juga di dalam
diriku. Sungguh sangat erotis
merasakan siksa birahi semacam ini
hingga akupun akhirnya orgasme
panjang untuk ke sekian kalinya.
Dengan ekor mataku aku kembali
melihat seseorang masuk ke
ruangan yang ternyata si bule dan
orang itu juga mulai membuka
celananya. Aku menggigit bibir, dan
mulai menangis terisak-isak. Aku hanya bisa memejamkan mata ketika
Marchell mulai menindihi tubuhku.
Pasrah. Tidak lama kemudian setelah orang
terakhir melaksanakan hasratnya
pada diriku mereka keluar. aku
merasa seluruh tubuhku luluh lantak.
Setelah berhasil mengumpulkan
cukup tenaga kembali, dengan terhuyung-huyung, aku bangkit dari
tempat tidur, mengenakan
pakaianku seadanya dan pergi
mencari kamar mandi. Aku berpapasan dengan Dino yang
muncul dari dalam sebuah ruangan
yang pintunya terbuka. Lelaki itu
sedang sibuk mengancingkan
retsluiting celananya. Masih sempat
terlihat dari luar di dalam kamar itu, di atas tempat tidur tubuh Shelly yang
telanjang sedang ditindihi oleh tubuh
Maki yang bergerak-gerak cepat.
Memacu naik turun. Gadis itu
menggelinjang-gelinjang setiap kali
Maki bergerak naik turun. Rupanya anak itu bernasib sama seperti diriku. “Di mana aku bisa menemukan
kamar mandi?” tanyaku pada Dino. Tanpa menjawab, ia hanya
menunjukkan tangannya ke sebuah
pintu. Tanpa basa-basi lagi aku
segera beranjak menuju pintu itu. Di sana aku mandi berendam air
panas sambil mengangis. Aku tidak
tahu saya sudah terjerumus ke dalam
apa kini. Yang membuat aku benci
kepada diriku sendiri, walaupun aku
merasa sedih, kesal, marah bercampur menjadi satu, namun
demikian setiap kali teringat kejadian
barusan, langsung saja
selangkanganku basah lagi. Aku berendam di sana sangat lama,
mungkin lebih dari satu jam lamanya.
Setelah terasa kepenatan tubuhku
agak berkurang aku menyudahi
mandiku. Dengan berjalan tertatih-
tatih aku melangkah keluar kamar mandi dan berjalan mencari pintu
keluar. Sudah hampir jam sebelas
malam ketika aku keluar dari rumah
itu. Sampai di dalam rumah, Aku
langsung ngeloyor masuk ke kamar.
Aku tak peduli dengan kakakku
yang terheran-heran melihat tingkah
lakuku yang tidak biasa, aku tak
menyapanya karena memang sudah tidak ada keinginan untuk berbicara
lagi malam ini. Aku tumpahkan
segala perasaan campur aduk itu,
kekesalan, dan sakit hati dengan
menangis.
TAMAT